Pages

Sabtu, 27 April 2013

LAPORAN PERJALANAN NAVIGASI DARAT ( Wahida 'Lumut')

Hujan turun membasahi tubuhku dalam balutan pakaian tebal dan tas seberat 5 kilo dipunggungguku diatas motor. Motor melaju dalam kecepatan 80 km/jam menuju daerah maros tepatnya di leang-leang. 3 hari sebelumnya aku mendapat pengajaran atas teori navrat alias navigasi darat untuk divisi gunung hutan dari seorang pemateri handal yang kami panggil bang anjas, yang berasal dari mataram. Sampai di depan pintu masuk leang-leang, abang memberiku arahan untuk mengenali tanda-tanda medan. Ada kantor pemerintah disamping pintu gerbang dan mesjid disebelahnya juga jembatan yang akan menjadi tanda dan tertulis pada peta.
Beberapa jam sebelum berangkat, aku segera membayar hukuman set ku pada ketua marabunta yang kami panggil dengan sebutan kak domba atau kak sohe. Hukuman berupa set (10 push-up, 10 sit-up, 10 back-up) yang dikali lima aku dapat karena salah dalam mempertanggung jawabkan alasanku tentang kontur yang tidak akan berpotongan dan bersilangan, yang ternyata terdapat pada peta gunung rinjani di mataram. Akupun geleng kepala dan bertanya kembali pada pemateriku, katanya pada peta gunung rinjani yang merupakan gunung merapi kadang terjadi retakan atau patahan yang dibaca oleh satelit dan muncul dalam kontur yang berpotongan, namun sebenarnya itu bukan lah kontur yang berpotongan namun kontur yang patah, atau patahan kontur. Tapi karena tidak mampu menjelaskannya, dengan sepenuh hati aku menerima hukuman yang menyehatkan itu.
Berangkat pukul tiga sore dari depan sarang di Fakultas Psikologi UNM, kami berdoa bersama keluarga yang lain angkatan 1 dan para pendiri di marabunta kemudian berangkat menuju medan. Sampai di dalam, kami berhenti pada lapangan kosong yang disampingnya ada bangunan rumah kosong yang telah rusak dan berlumut hitam. Kami membuka plesit yang mampu menampung sekitar 10 orang lebih dan melebarkannya diatas rumput, ketika itu udara masih lembab dan hujan masih jatuh rintik-rintik. Kami membuka matras dan mencari tempat rata dipermukaan tanah untuk orientasi peta. Dalam hati aku berteriak, saatnya mempraktekkan teori.
Aku mulai masuk kedalam plesit dan kumpulan orang-orang yang telah berkerumun sebelumnya, tapi cara masukku merusak posisi peta yang telah diatur oleh teman sekelompokku, pandan, yang telah melakukan orientasi peta dahulu. Abang menegurku lagi, “beginikah caranya melihat peta?”. Aku mulai mengingat teori-teori yang diajarkan sebelumnya dan melakukan orientasi peta yang baik.
Kami diminta untuk mencari posisi tempat kita saat ini dipeta, dengan menggunakan intersection. Lalu melakukan penentuan titik tujuan yang ditentukan abang. Mencari sudut peta, dan kemudian membidik sasarannya di medan yang asli. Aku menatap tebing di tempatku. Sebelum tebing ada sawah irigasi yang tersusun indah sebelumnya. Sudut yang kami tuju untuk sampai ke titik tujuan dipeta menunjukkan sudut 115 derajat. Karena sudut peta dan sudut kompas sama, maka aku hanya tinggal membidik sasaran ditempat kami melakukan orientasi peta, maka akupun membidiknya, dan ujung terjauh yang dapat kulihat adalah tebing ke-tiga dari kanan yang sedikit berbeda bentuk dari yang lainnya. Aku membidiknya berkali-kali, dengan berkali-kali pula memutar badanku untuk mengawali bidikan yang baru, dan tujuannya sama. Hanya saja aku kebingungan, benarkah kita akan melewati tebing itu?
Temanku jalan dahulu untuk mencoba back azhimutnya. Wajahku yang tampak kebingungan, dibaca saudaraku yang lainnya di angkatan 1, beringin, dan ia memberiku petunjuk yang tidak juga kumengerti. Dikepalaku terus berfikir, bagaimana caranya menembus tebing tinggi yang tak pernah disentuh?
Aku pun mengikuti temanku itu, melewati sawah kami jalan menuju titik yang kutuju, hingga akhirnya kami berakhir didepan hutan sagu yang berlumpur dan kedalamannya yang tak terduga dan berubah-ubah setiap tempat. Dari tempat itu, kami mencoba mencari back azimutnya, karena tebing yang kutuju terhalang hutan pohon sagu itu. Tapi untuk mencari sudut balik ke tempat awal sebesar 295 derajat tidak kutemukan dimanapun diposisi itu. Aku dan temanku mencoba mencarinya namun angka dikompas tetap menunjukkan 280 derajat. Saat itu aku sudah gugup, kesalahan satu derajat artinya hilang dalam radius 5 km di medan aslinya.
Kami tidak menemukan titiknya sama sekali, akhirnya aku mengatakannya pada abang, dan ia mengatakan bahwa “kita harus pergi ke tebing yang kamu tembak.” Aku menelan ludah, bagaimana caranya kesana? Melewati hutan pohon sagu berlumpur yang kedalamannya mungkin saja ada yang tak terjangkau dan menenggalamkan tubuh hingga kepala?
Aku teringat ketika melewati sawah untuk menuju ketempat ini. Kami jalan berkelok-kelok, sedang abang menerobos lumpur dan jalan lurus, berbalik kearahku dan dengan suara lantang berkata “lebih cepat kan?” Aku hanya bisa mengangkat jempolku dengan kagum. Saat itu aku mengingatnya dan dengan menggerakkan kembali kompasku menembak 115 derajat kedepan, tepatnya ke pohon sagu didepanku. Aku dengan berani seperti cara abang menerobos lumpur, menerobos lumpur itu dan berjalan menuju pohon itu melewati lumpur yang menenggelamkan kakiku hingga ke tengah betis.
Sampai kepohon, abang menyuruhku terus menembak 115 derajat, dan aku pun melakukannya. Dari jam 5.30 sore tepat saat kami memulai perjalanan ini tanggal 6 maret 2013, hingga saat ini menunjukkan pukul 7 malam, hutan sudah sangat gelap, kak pinus yang bergerak membuka jalan yang kutunjuk memotong batang pohon sagu yang mengahalangi bergerak sebagai leader dan rotan yang bergerak sebagai sweaper di belakang kami, berlima bergerak masuk kedalam hutan pohon sagu tak terjamah.
Lama-kelamaan kami tidak memukan ujungnya, dan pohon sagu berikutnya yang ku tembak, kedalaman lumpurnya tidak terjangkau, dengan tegas abang menyuruh kak pinus bergerak keluar lurus untuk keluar dari hutan pohon sagu ini. Berjalan dalam kegelapan malam, di tengah hutan lumpur yang menelan kaki hingga ke betis, dengan langkah cepat dan gerakan kuat, kak pinus terus memotong dahan pohon yang menghalangi, berjalan terus sambil mengikuti arahan dari abang. Kami berjalan hingga keluar dari lumpur namun masih dalam kompleks hutan yang ternyata luas ini. Kami berjalan keatas menanjak, sampai akhirnya terhalang oleh tebing yang tak mungkin terjangkau untuk dieruskan dan berbalik turun mencari tempat datar untuk beristirahat sebentar. Kamipun turun menuruni tanah licin dan basah, mengucap salam bagi penghuni hutan ini. Didepan ada turunan yang terlihat sangat terjal hingga memerlukan tali webing untuk menuruninya, abang mengikatnya ditempat yang kuat dan turun perlahan, aku melihat dengan sedikit cahaya headlamp yang bertuju pada bang anjas, abang bergumam “tidak sampai talinya” lalu, bruuuuuk...
Kak pinus berteriak “ada apa bang?”, “ndak ji, bisa ji, sampai mi ditanah, turun semua satu-satu, cewek duluan”. Aku menarik nafas lega, temanku mencoba turun, dengan gaya seorang climber, kami turun dengan webing itu kebawah. Saat aku mencoba turun tapi tidak menemukan pijakan tepat, bang menegurku “turun saja jangan takut, seorang navigator tidak boleh takut melangkahkan kakinya, karna kita buka jalur”. Aku menghilangkan ketakutan bodohku dan menjatuhkan kakiku mengikuti gravitasi. Kamipun berdiri menunggu yang lain turun, sementara bang pergi jauh dan melarang kami menyenter kearahnya untuk memenuhi kebutuhan alamnya. Setelah menunggu abang selesai dengan urusannya dengan alam, kami kembali berjalan sesuai arahannya dan menemukan tempat yang baik untuk beristirahat ada air yang bisa digunakan dan tempat untuk duduk berlima. Sambil beristirahat abang mengajarkan saudaraku rotan sebagai seorang calon pemateri survival untuk membuat air bersih. Kami para cewek membuat makanan. Kami pun mulai mencuci beras dari air diatas daun yang dikelilingi batu ditengah air mengalir. Dengan nasi, mi rebus dan ikan kecil tumis yang dibawa temanku kami makan dengan lahap setelah melepas tenaga yang lumayan besar tadi untuk menembus hutan pohon sagu ini.
Aku menjadi heran sendiri dengan diriku yang sebenarnya penakut dan lemah. Selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk naik keatas. Sekarang membuka jalur baru yang belum pernah dijamah orang sebagai seorang navrat. Aku teringat kata-kata bang saat kami bersusah payah mencari titik back azimuth ditempat kami berdiri sebelum memasuki hutan ini. “makanya saya heran, jarang ada cewek yang mau jadi navrat, karena memang sulit. Hanya ada sedikit wanita navrat di Indonesia, salah satunya memang kakak kalian kelinci. Tapi saya biarkan saja kalian tetap memilihnya. Dan dilapangan kita baru akan buktikan kehebatan kalian.” Yah, aku yang lemah dan penakut, mencoba menjadi seorang yang kuat dan pemberani.
Setelah beristirahat, kami pun berjalan kembali untuk keluar dari hutan ini. Kami mengikuti aliran air tadi, dan menemukan jalan yang seharusnya biasa dilewati oleh seorang manusia. Kami terus berjalan, hingga menemukan langit yang tadinya tertutup pohon sagu didepan sana. Untuk dapat kesana kami harus melawati pembatas dan lumpur yang menenggelamkan kaki hingga paha.
Kami pun berhasil keluar, ke persawahan kembali. Kami berjalan terus mengikuti pematang sawah yang belum di gunakan, melewati jembatan bambu yang tidak terikat baik dan harus dilewati satu-persatu orang. Terus masuk menaiki jalan menanjat yang sedikit terjal hingga turun kebawah, keujung dan menemukan sawah kembali diluar hutan. Kami kembali kepinggir hutan dan bang menyuruh membuat camp di tempat ini. Aku melepas tas berat itu dan terduduk sebentar melepas lelah. Para lelakinya mencoba membuat camp dari plesit sesuai petunjuk bang. Mengambil bambu sebagai tiangnya, menggali lubang ditanah dan mencari kayu lain sebagai penahannya untuk mempertegakkan tiang bambu. Dari ujung hingga ujung bambu itu di tegakkan sebagai tiang, aku hanya bisa memperhatikan mereka. Dan kemudian mematok sisi-sisi plesit dengan kayu-kayu kecil yang kuat kedalam tanah.
Kami para cewek mengatur tas dan matras untuk beristirahat. Laki-lakinya mencoba membuat api dari kayu basah setelah hujan gerimis tadi sore. Aku dan temanku juga mengumpulkan kayu untuk dibakar, tapi yang aku temukan hanya bambu di kegelapan ini. Sementara kami membuat dan mempersiapkan camp terlihat ada tiga senter yang bergerak kearah kami. Kak pinus memberitahu bang, mungkin warga ada yang datang, bang menyuruh membiarkannya dan menyapa mereka jika mereka menyapa kita lebih dahulu. Aku mencoba melirik tiga cahaya yang diberi tahu itu, dan aku pun bergumam, “mungkin hantu”. Temanku menyikutku dan dengan wajah cemberut menegurku. Aku hanya tersenyum membiarkannya. Sosok yang disebut warga itu tak menyapa kami hingga esok menyingsing.
Setelah selesai, dan apipun jadi. Mataku terserang kantuk berat. Semua orang diluar tenda menghangatkan diri di dekat api, aku didalam dan mendengarkan bang memberi tes untuk hapalan dan pemahaman teori kami dengan kantuk yang setengah mati kutahan. Bang pun mengatakan “nanti kita akan melihat bintang cirux untuk menentukan arah dimalam hari”. Kantuk yang tak bisa kutahan lagi membuatku berucap, “bang aku istirahat sebentar ya, sebelum melihat bintang” dan matakupun tertutup.
Saat mataku terbuka, cahaya mulai masuk dari ujung kepalaku. Samping kiriku, bang tertidur pulas, begitu pula temanku pandan disebelah kanan. Aku terduduk dan melihat keluar, kak pinus dan rotan yang tidur dengan sleeping bag. Sesaat aku tertegun, karena tiba-tiba kak pinus membuka ujung sleepng bagnya dan bersuara tidak jelas. Setelah diam lama aku melihat ia sama sekali tidur dan tak terbangun. Aku keluar tenda dan menyambut udara dingin pagi hari. Tapi semua orang masih tertidur dan azan subuh setengah jam yang lalu baru bergumam, dingin membuat kulitku menyegat dan tidur kemabali memanggilku. Aku terbangun kembali karena rasa kebelet yang tidak bisaku tahan. Aku berwudu sedikit, membersihkan tanah di bajuku, dan kemudian mengganti solatku. Aku ingin menunggu mereka bangun. Tapi ternyata terasa lama sekali. Aku kembali ke tenda dan tidur.
Suara kak pinus membuat mataku kembali terbangun. Aku melihat bang disampingku yang terlihat masih asik tidur, kak pinus menyuruh kami masak, tapi semalam katanya kita akan makan dengan bambu. Aku mengingat kembali bagaimana caranya memasak dengan bambu, “bambunya dibakar ya?”, “hemm, dibakar, tapi nanti saja, sekarang masak saja dulu dengan nesting” bang berbicara dengan mata tertutup membuatku keget sebentar. Kemudian ia memablikkan tubuhnya dan tidak beranjak bangun.
Aku dan pandanpun mulai memasak. Kami makan nasi, telur dadar dan mi, kak pinus membuat satu martabak mi yang mengingatkanku pada kakak perempuanku yang juga suka membuatnya. Diatas daun pisang, kami makan bersama. Setelah itu pelatihan dimulai lagi. Sementara bang mengajar rotan untuk membuat bivak, juga sambil memberitahu kami untuk melakukan section dan intersection. Aku melihat peta dari atas, dan mendapat hukuman dari bang, “pernahkah saya memberi tahu untuk melihat peta dari atas? Peta harus dilihat dalam posisi yang baik. Satu set! Sekarang!.” Aku menghela nafas dan mengambil hukumanku. Mengutuk diri sendiri dalam hati yang masih diselimuti rasa kantuk malas sehingga tidak berfikir jernih. Akupun membangunkan diri ku sendiri, dan mulai serius. Temanku pandan datang dan mencoba melakukannya pula, ia melakukannya dengan baik tidak seperti diriku yang bodoh.
Karena semalam aku yang menembak dan menentukan arah, saat sore menjelang malam nanti kami akan dituntun oleh pandan. Ia pun dengan serius bertanya. Melihat tanda-tanda medan, kami mencoba menentukan posisi kami dipeta. Sebelumnya aku dan pandan mencoba bertanya pada warga di daerah mana kami sebenarnya. Kemudian kami mencari posisi yang tepat untuk dapat menembak sudut tanda medan dan meletakkannya dipeta dan mencari titik pasti kami dipeta. Temanku pandan mencobanya, namun karena terhalang gunung kamipun berpindah kedepan yang dapat melihat tanda medan dengan baik. Melihat cekungan hutan, sawah dan jalan,  kami menembak sudutnya masing-masing dan menggambarkannya dipeta. Menarik garis lurus dan melihat pertemuan yang terjadi antara titik bidikan dari masing-masing sudut. Aku merasa rasa amarah bang masih ada kepadaku. Aku benar-benar merasa bersalah dan hanya berdiam diri memperhatikan bagaimana bang mengajari pandan. Setelah berhasil menentukan titik dipeta, kemudian bang memperpendek jarak tujuan kami menjadi ke jembatan yang masih di sekitar daerah bantimurung. Pandan menarik garis dan mencoba menentukan sudut tembak. Kami menemukan sudut tembak di petanya sebesar 137 derajat.
Aku teringat kembali, saat pagi menunggu semua orang bangun, aku melihat daerah kami berada dan tebing yang tepat berada dihadapan kami. Mengingat orientasi peta dan penetuan didaerah mana kami berada untuk sementara menurut bang malam sebelumnya, aku sangat yakin, sasaran tembak kami bertumpu pada tebing itu. Tampaknya pandan berpikiran sama denganku, iapun bertanya pada bang, “bang, kalo sasaran tembak bertumpu pada tebing yang tidak bisa dilewati bagaimana?”. Bang pun menjelaskannya,
“itu namanya halang rintang. Jika kita menembak dan titik yang ditembak tertuju pada halangan yang tidak bisa dilewati seperti tebing atau rawa, maka kita melakukan halang rintang. Yakni bergerak 90 derajat ke kiri atau ke kanan sampai halang rintang itu terlewati kemudian menembak sudut yang besarnya sudut merupakan penjumlahan dari sudut asli dengan 90 derajat dengan menghitung langkah kaki kemudian bergerak menuju posisi sudut tembak dan kembali bergerak 90 derajat berlawanan dengan arah sebelumnhya yang kita ambil dengan langkah yang telah kita hitung, dan menembak kembali dengan sudut awal”
Keningku berkerut mendengar penjelasan yang panjang itu. Aku sama sekali tak mengerti. Dan bang, pun memberi beberapa contoh untuk menjelaskannya yang pada akhirnya masih membuatku semakin bingung namun tak berani bertanya. Pelajaran selesai dan kamipun di minta mencari siput hitam untuk dimakan. Makanan seorang survival seperti yang akan diajarkan oleh bang pada rotan.
Bertiga dengan kak pinus yang menuntun kami mencari siput hitam itu disawah. Tapi sangat amat jarang sekali, aku hanya berhasil menemukan 7 biji. Pandan menemukan sangat banyak namun bercampur dengan siput kuning. Bang mengatakan bahwa, siput kuning harus terlebih dahulu diambili isi perut dan kotorannya, baru bisa dimasak. Karena ada bagian yang jika tidak diambil akan membuatmu pingsan selama beberapa jam. Saat mencuci alat makan, aku bertanya pada pandan tentang halang rintang. Iapun menjelaskannya dengan contoh pergerakan langsung yang mudah kupahami. Walau hanya sebagiannya, setidaknya aku sudah sedikit mengerti.
Saat jam 5 sore tidak lama lagi menjelang kami bersiap-siap berangkat. Aku berangkat dengan perasaan lega mendengar bang, berkata “saya bakal marah ke seseorang karena saya masih menyayangi mereka. Kalau saya sudah diami, itu baru kasian-kasian mu mi. Tidak akan saya pedulikan”. Masing-masing dari kami bertiga mendapat hukuman 5 set karena tidak membawa bendera MARABUNTA. Harus dibayar sebelum sampai di kota, kalau tidak maka, kak domb akan menghukum kami lebih parah lagi.
Kamipun berjalan, tapi sebelum perjalanan dimulai, tiba-tiba bang menyuruh kami bertukar cariel. Cariel terberat yang dua kali lipat dari daypack yang kubawa yang dibawa oleh rotan, disuruh bawa oleh pandan, aku membawa daypack pandan yang sedikit lebih berat dari daypack-ku, dan daypack ku dibawa oleh rotan. Perjalanan kembali dilanjutkan.
Setelah membidik, pandan kemudian bergerak tepat kedepan tebing dan bergerak lurus 90 derajat kesamping. Saat ingin menembak ia bertanya pada bang untuk penambahan sudutnya, dan bang menyuruhnya menambah 90 derajat, tapi pandan berkata itu salah, karena kita bergerak ke kiri, maka seharusnya ditambah 270 derajat. Tapi hasilnya melewati 360 derajat yakni 407 derajat. Dan bang pun menyuruh mengurangi 360 derajat. Hasil sudutnya benar-benar aneh dan menunjukkan kemiringan kearah yang berlawanan. Aku semakin bingung. Dan saat bang berkata kemana arahnya, kami memutuskan arahnya ke posisi dimana bang berdiri sekarang. Kami diminta untuk menghitung langkah. Dan kamipun menghitungnya. Langkahku mencapai angka 115, pandan hanya 75 langkah, karena ia mengambila langkah yang lebar.
“yang membawa beban ringan yang menghitung langkah. Lanjutkan hitungannya sampai kita keluar dari tebing ini.” Akupun terus menghitung langkahku. Kami berjalan terus melewati sawah yang belum di tanami. Lurus menuju hutan. Bang mencari jalan yang diceritakan seorang warga yang sempat menjenguk kami di perkemahan. Ia menceirtakan tentang jalan tembus menuju tempat rekreasi bantimurung. Kamipun terus masuk kedalam. Melewai jalan berkelok yang terlihat masih dapat di lewati. Kemudian masuk kedalam hutan dan mulai menanjak keatas. Rotan menandai jalan kami dengan stringline berupa tali rapiah berwarna merah. Malam mulai menjemput , sedang jalan mulai tampak menanjak, aku mengosongkan semua botol air dan hanya pandan yang mengisi botol airnya yang kecil juga mulai kehausan akibat mengangkat tas cariel yang berat itu. Jalan didepan tidak bisa katanya. Kita kembali turun dan aku terpaksa menghitung mundur hitungankun dengan cara menguranginya.
Kami duduk diatas papan, sedang bang mencari jalan menuju keatas. Wajah kak pinus mulai tampak tak yakin dimataku. Kami mengikat baik-baik sepatu kami dan berjalan kedepan. Mengikuti bang. Berjalan keatas, dan kami tidak menemukan jalan yang di beri tahu oleh warga itu. Ditengah, saat malam mulai benar-benar menghantui, ditengah gunung hutan yang tak terjamah, bang melanjutkan, “tidak perlu jalan warga, hantam keatas dan buka jalan baru, dari pada turun kembali”.
Mengikuti arahan bang yang memiliki pengalaman lubis alias luar biasa tentang gunung hutan yang merupakan divisinya di mapala mataram. Kami berjalan keatas kebekas bebatuan yang dialiri air. Licin berlumut. Senter headlamp bang padam, kami berhenti sejenak menaiki kemiringan gunung hutan yang gila itu sembari menunggu bang menganti baterai headlampnya, ia meminta pandan yang sudah terlihat pucat untuk mengganti kembali tas carielnya. Kami melanjutkan perjalanan keatas. Melewati tanjakan berlumut yang panjang itu hingga sampai ke daerah yang lumayan datar. Ada banyak pohon bambu yang tumbuh. Dan ada sekitar dua jalur yang bisa di lewati. Bang mengecek ke kanan dan rotan mengecek ke kiri, kami memutuskan memilih kanan, dan berjalan beberapa langkah kedepan. Saat berjalan tiba-tiba bang berteriak “anjing! Anjing!” dan lari terbirit kebelakang. Ia menarik sedikit kausku kebelakang dan memegang kepalanya sendiri. Kak pinus datang “kenapa bang?”, “ular sanca! suntili”, “ha? mana bang?” aku terkaget. “itu sana, sebesar ini!” bang menunjukkan bambu yang sedari tadi kubawa, sebesar paha orang dewasa. Aku tercekat tak percaya, menelan ludah dan menyenteri tempat yang di tunjuki bang ada ular sanca alias ular sawah yang mampu menelan sapi tersebut.
Rotan mengiyakannya dan menunjukkannya pada kami. Semua senter mencari-cari sosok ular besar yang hampir di injak oleh bang anjas. Aku pun melihat sebuah benda panjang besar bergerak berbintik cantik warna hijau di malam hari menghilang dibalik kegelapan disampingnya yang tak terjangkau oleh senter akibat terhalang sesuatu. Mataku terpukau seketika. Ludahku tertelan begitu lambat. Semua hening, kecuali kak pinus yang mencari-cari sedari tadi namun tak jua melihat pemandangan yang menengangkan itu. Semakin menegangkan ketika bang berkata, “kemungkinan ular itu sedang lapar.” Aku hanya berharap ia belum berdoa sebelum makan.
Kami kembali ketempat semula mengikuti stringline dan mengambil lajur kiri yang ditunjukkan rotan. Bang tampak diam masih tegang, jika ia benar-benar menginjak ular itu, maka semua berakhir. Termasuk kami semua. Dan petualangan ini hanya akan menjadi berita menapjupkan bagi sebagian orang, mengerikan bagi sebagian orang lainnya, menyedihkan bagi beberapa orang, dan menyayangkan bagi sebagian kecil lainnya. Beruntung hal itu tidak terjadi. Karena tulisan ini membuktikannya.
Kami terdiam bersama kebisuan bang. Kak pinus berinisiatif melihat jalan kiri, apakah bisa dilewati atau mentok tebing kembali. Dengan jujur kak pinus berkata, “agak takut ka’ sebenarnya bang, ular”. Namun ia masih terus berjalan melihat apakah jalan itu bisa dilewati atau tidak. Hitungan ku berakhir disitu tepat berjumlah 3889 langkah. Kak pinus tiba-tiba berkata “mentok bang”. Dan kami pun duduk sebentar. Pandan terlihat sangat lesu seperti kurang makanan. Bang mengingat roti yang kita miliki dan kita pun memakannya bersama madu dan susu. Juga sebotol air yang tidak cukup seperempatnya. Selesai makan aku sadar tanganku yang sangat kotor, tapi semua terlambat karena roti yang kusuap itu telah masuk melewati kerongkonganku. Aku tidak jadi menjilati susu yang tumpah di tanganku.
Bang menatap kami semua. “jadi masih mau lanjut? Seandainya ada air, kita kemah disini, tapi air sudah tidak ada.” Aku spontan menjawab “lanjut bang”. Bang kemudian melanjutkan “yah,kita kebawah dulu lalu mengambil jalan lain”. Aku merasa sedikit kecewa, jika harus kembali kebawah lagi. Beberapa saat yang lalu kami mendengar suara salawat mesjid dari atas sini, yang artinya puncak sudah dekat. Tapi karena mentok, setelah mendapatkan baterai yang hilang jatuh selama beberapa menit ditempat ini untuk mengganti baterai headlampku, kami kembali berjalan turun ke bawah. Dengan langkah pelan terseok beberapa kali, kami menuruni gunung hutan yang tak pernah tersentuh ini, melewati jalan sawah yang belum dipakai itu, dan masuk menuju hutan awal. Sambil jalan, kami tidak menemukan jalan masuk menuju tempat itu kecuali melewati rawa berlumpur yang cukup dalam jika diinjak. Tidak ada jalan lain , setelah bang melewatinya, kami semua berjalan melewatinya dua perdua. Kak pinus membantu pandan, rotan membantuku. Berkali-kali sepatuku terjebak sangat dalam hingga ke pangkal paha. Sangat sulit berjalan melewatinya. Rotan memberi tahuku cara jalan yang baik jika tidak ingin sulit melewatinya, aku bersorak dalam hati, “oh iya”, aku baru ingat, semakin luas suatu permukaan semakin kecil tekanan yang diberikan, dengan berjalan menggunakan betis dibantu otot paha aku berjalan,dan akupun berhasil melewati rawa berlumpur itu berkat bantuan rotan.
Kami berjalan memasuki hutan dan jembatan bambu yang hampir rusak itu, lalu berkemah ditempat lapang. Sambil menyiapkan tenda, aku dan pandan mengambil air dan mengisi semua botol. Sementara kak pinus dan rotan menyiapkan tenda, bang mengajarkan kami tentang bintang, menyuruh kami mencari bintang cirux yang berbentuk layang-layang yang membedakannya dengan yanglain adalah satu titik bintang redup yang berada disebelah kanannya. Ekornya menandakan arah selatan bumi. Tiba-tiba rotan nyeletuk, “seperti pacaran ki bertiga di situ bang, eh, bikin iri saja”, dan kami pun tertawa mengiyakan.
Saatnya pelatihan rotan, kami akan makan nasi yang dimasak menggunakan bambu. Ia membuat api dan mencari kayu berbentuk huruf Y. Untuk mengisi kekosongan perut sementara, kami makan dua bungkus indomi. Bang merebus siput hitam. Dan kemudian menggoreng siput yang telah dipotong yang tidak diambil untuk makan besar selanjutnya. Setelah nasibambu masak, ternyata tidak terlalu banyak, isinyalunak dan enak, tapi luarnya yang terbakar sangat keras. Saat memakannya dengan siput goreng, terasa amat sangat nikmat. Aku sangat lapar.
Pagi pun menjelang. Aku bangun lebih dahulu lagi karena tidur lebih awal. Disamping kananku ada rotan dikiriku ada pandan lalu kak pinus. Bang tidur di belakang. Aku keluar mencari tempat untuk mengeluarkan hajat. Dan membersihkan kotoran yang bisa di hilangkan dibadanku lalu menjamak solatku. Saat selesai aku berbalik ketenda dan melihat punggung kak pinus yang duduk menghadap tenda. Aku kembali ke aliran sungai yang mengalir kecil. Memasukkan kaki ku kedalam dan mencucinya, lalu mengeringkannya sambil melihat tebing dan gunung hutan yang mengelilingi kami. Sungguh indah bumi yang diciptakanNya ini.
Kak pinus memanggil ku, aku bertemu kembali dengan nenek yang merupakan warga desa itu, ternyata ia telah melarang kami untuk naik karena disana ada ular. Dan ia datang kemari untuk mengecek kami, kalau tidak ada kami dia tidak berani untuk masuk kemari. Dan ia pun pergi berlalu mencari siput hitam untuk dimakan. Saat santai menikmati udara pagi yang mulai hangat, kak pinus datang dibelakangku. Kami ternyata memiliki harapan yang sama untuk dapat kembali ke gunung itu dan mencari puncaknya. Hanya saja ia tetap ingin melakukannya dimalam hari. Sebenarnya aku juga senang menyurusinya dimalam hari, karena disiang hari laba-laba yang hitam, besar dan tebal itu bertebaran dimana-mana, aku akan sangat ketakutan.
Nenek itu pulang dan mendapat banyak siput hitam. Ia bercerita tentang panennya yang gagal. Lalu menceritakan tentang kebun lombok didekat kami yang katanya kalau hari minggu tidak dijaga karena ia pergi menjenguk ibunya karena tidak sekolah. Aku sebenarnya tidak ingin, karena tetap saja itu artinya mencuri, tapi sang nenek dengan antusiasnya memberikan kami lombok yang berasal dari kebun orang itu dengan beberapa jeruk nipis. Kamipun kembali keperkemahan. Orang-orang mulai bangun. Bang anjas mempersiapkan masakan andalanya, nasi goreng kornet telur yang nikmat. Kami makan dengan lahap dengan tambahan lombok segar yang baru saja dipetik dari pohonnya dan jeruk nipis yang segar. Sayangnya pandan tak bisa makan, karena terlalu pedas untuknya. Iapun terpaksa memasak mi sendiri.
Kami bersiap-siap pulang. Aku teringat saat malam tadi ketika kami melakukan briefing. Bang memanggil kami berdua dan dengan suara pelan penuh perhatian menanyai kami. “sekarang coba ceritakan hal-hal yang tidak kalian mengerti.” Pandan mulai menceritakan masalahnya, dan aku dengan perhitungan back azimut yang tidak ketemu dan halang rintang yang masih sangat tidak kumengerti. Bang pun menjelaskannya dengan runtut.
“ok mulai dari packingan. Saya sudah bilang toh, barang yang kamu bawa dari kota, tidak boleh dipakingkan orang lain. Masalahnya bagaimana kalo orang yang mempakingkan kamu itu tidak ada. Siapa yang kamu harapkan membawa barang pakinganmu? Pandan, madu, roti, beras, siapa yang bawa? Pinus to?”
“iiih, saya ndak tahu bang, perasaan saya sudah taruh ditasku”
“hemm, tapi tetap, pinus yang bawa. Terus, pandan waktu penentuan halang rintang, saya sudah teriak sudutnya ditambah 90 derajat, kamu bilang saya salah, jadi kamu tambah 270. Itu sisi kanan dan kiri, timur dan barat, sesuai arah, timur 90 derajat, kiri atau barat berarti 270 derajat, tapi itu sama sekali tidak ada hubungan nya dengan perhitungan halang rintang. Itu hanya pengecoh yang coba saya berikan. Tetapi kalian tertipu dan memasukkannya dalam perhitungan.”
Aku hanya menepuk jidatku mendengar penjelasan itu. Betapa bodohnya aku yang tidak bisa berfikir dengan jernih saat materi itu diberikan. Dan bang pun meluruskan segala pengetahuan kami yang bengkok.
Sawah terbentang luas dihadapanku, menuju depan aku ingin segera memakai rokku. Banyak aturan yang telah kulanggar tapi telah kubuat batasan terhadapnya dengan kata ‘keadaan kritis’. Beberapa pengecualian yang aku tanamkan dari islam untuk dapat memenuhi keinginanku untuk dapat melihat secara nyata alam ciptaanNya ini. Sayangnya aku tak pandai mengendalikan situasiku sendiri. Aku tidak tahu meski berkata apa, pandan telah berkata “wajibkah pakai rok?”, aku tidak menjawabnya, hanya saja aku sedang tidak ingin bertengkar den berdebat. Akhirnya aku mencari alasan lain yang biasanya lebih masuk akal dari ini untuk orang-orang dizaman seperti ini, “kotor celanaku, jadi tutupi pakai rok”. Tapi aku salah, adalah kebanggaan seorang pendaki gunung yang membawa tas cariel yang besar dan pakaian kotor berlumpur akibat telah mengalahkan satu gunung hutan. Akhrinya aku disuruh memangkul cariel sampai depan kantor polisi tempat kami akan dijemput.
Lama menunggu, hujan deras datang menjemput bergilir-giliran. Aku ingat perkataan bang semalam, “jika malam cerah ada kilat, tandanya besok akan hujan”. Dan tepat tadi malam aku melihat kilat terus-menerus bermunculan dan hujan deraspun datang dihari ini. Kami menunggu 5 motor datang menjemput dari jam 3 sore hingga setengah enam menjelang magrib. Dengan naik motor berboncengan kami menuju rumah pandan, singgah bertamu disambut hangat dengan jamuan makan bakso yang nikmat. Semua pria membuka bajunya karena kebasahan. Mereka berfoto sama. Sangat lucu. Kami bercerita pengalaman kami, disana. Tentang ular besar, dan banyak lainnya. Aku ketahuan mengorok ketika tidur dan sering bernyanyi sendiri dengan suara yang tidak jelas terdengar. Rotan memberi tahu sesuatu yang kumaksudkan untuk dirahasiakan. Aku hanya bisa tertawa bersama. Malam itu semua rasa lelah, hilang bersama tawa dan kebersamaan yang dibangun oleh cerita tentang pengalaman kami semuanya. Manusia bisa hidup dengan bahagia ketika ia bersama dengan manusia lainnya, seperti alam yang bisa tetap indah ditempatnya ketika manusia mau menjaganya bersama sepenuh hati.
09.46 PM
27 Jumadil awal
1434 Hijriah
Lumut_MARABUNTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

About


visitor counter