Hujan turun membasahi tubuhku
dalam balutan pakaian tebal dan tas seberat 5 kilo dipunggungguku diatas motor.
Motor melaju dalam kecepatan 80 km/jam menuju daerah maros tepatnya di
leang-leang. 3 hari sebelumnya aku mendapat pengajaran atas teori navrat
alias navigasi darat untuk divisi gunung hutan dari seorang pemateri handal
yang kami panggil bang anjas, yang berasal dari mataram. Sampai di depan pintu masuk
leang-leang, abang memberiku arahan untuk mengenali tanda-tanda medan. Ada kantor pemerintah disamping pintu gerbang dan mesjid disebelahnya juga jembatan
yang akan menjadi tanda dan tertulis pada peta.
Beberapa jam sebelum berangkat,
aku segera membayar hukuman set ku pada ketua marabunta yang kami panggil
dengan sebutan kak domba atau kak sohe. Hukuman berupa set (10 push-up, 10
sit-up, 10 back-up) yang dikali lima aku dapat karena salah dalam
mempertanggung jawabkan alasanku tentang kontur yang tidak akan berpotongan dan
bersilangan, yang ternyata terdapat pada peta gunung rinjani di mataram. Akupun
geleng kepala dan bertanya kembali pada pemateriku, katanya pada peta gunung
rinjani yang merupakan gunung merapi kadang terjadi retakan atau patahan yang
dibaca oleh satelit dan muncul dalam kontur yang berpotongan, namun sebenarnya
itu bukan lah kontur yang berpotongan namun kontur yang patah, atau patahan
kontur. Tapi karena tidak mampu menjelaskannya, dengan sepenuh hati aku
menerima hukuman yang menyehatkan itu.
Berangkat pukul tiga sore dari
depan sarang di Fakultas Psikologi UNM, kami berdoa bersama keluarga yang lain
angkatan 1 dan para pendiri di marabunta kemudian berangkat menuju medan.
Sampai di dalam, kami berhenti pada lapangan kosong yang disampingnya ada
bangunan rumah kosong yang telah rusak dan berlumut hitam. Kami membuka plesit
yang mampu menampung sekitar 10 orang lebih dan melebarkannya diatas rumput,
ketika itu udara masih lembab dan hujan masih jatuh rintik-rintik. Kami
membuka matras dan mencari tempat rata dipermukaan tanah untuk orientasi peta.
Dalam hati aku berteriak, saatnya
mempraktekkan teori.
Aku mulai masuk kedalam plesit
dan kumpulan orang-orang yang telah berkerumun sebelumnya, tapi cara masukku
merusak posisi peta yang telah diatur oleh teman sekelompokku, pandan, yang telah
melakukan orientasi peta dahulu. Abang menegurku lagi, “beginikah caranya
melihat peta?”. Aku mulai mengingat teori-teori yang diajarkan sebelumnya dan
melakukan orientasi peta yang baik.
Kami diminta untuk mencari
posisi tempat kita saat ini dipeta, dengan menggunakan intersection. Lalu
melakukan penentuan titik tujuan yang ditentukan abang. Mencari sudut peta, dan
kemudian membidik sasarannya di medan yang asli. Aku menatap tebing di
tempatku. Sebelum tebing ada sawah irigasi yang tersusun indah sebelumnya.
Sudut yang kami tuju untuk sampai ke titik tujuan dipeta menunjukkan sudut 115
derajat. Karena sudut peta dan sudut kompas sama, maka aku hanya tinggal
membidik sasaran ditempat kami melakukan orientasi peta, maka akupun
membidiknya, dan ujung terjauh yang dapat kulihat adalah tebing ke-tiga dari
kanan yang sedikit berbeda bentuk dari yang lainnya. Aku membidiknya
berkali-kali, dengan berkali-kali pula memutar badanku untuk mengawali bidikan
yang baru, dan tujuannya sama. Hanya saja aku kebingungan, benarkah kita akan melewati tebing itu?
Temanku jalan dahulu untuk
mencoba back azhimutnya. Wajahku yang tampak kebingungan, dibaca saudaraku yang
lainnya di angkatan 1, beringin, dan ia memberiku petunjuk yang tidak juga
kumengerti. Dikepalaku terus berfikir, bagaimana
caranya menembus tebing tinggi yang tak pernah disentuh?
Aku pun mengikuti temanku itu,
melewati sawah kami jalan menuju titik yang kutuju, hingga akhirnya kami
berakhir didepan hutan sagu yang berlumpur dan kedalamannya yang tak terduga
dan berubah-ubah setiap tempat. Dari tempat itu, kami mencoba mencari back
azimutnya, karena tebing yang kutuju terhalang hutan pohon sagu itu. Tapi untuk
mencari sudut balik ke tempat awal sebesar 295 derajat tidak kutemukan
dimanapun diposisi itu. Aku dan temanku mencoba mencarinya namun angka dikompas
tetap menunjukkan 280 derajat. Saat itu aku sudah gugup, kesalahan satu derajat
artinya hilang dalam radius 5 km di medan aslinya.
Kami tidak menemukan titiknya
sama sekali, akhirnya aku mengatakannya pada abang, dan ia mengatakan bahwa
“kita harus pergi ke tebing yang kamu tembak.” Aku menelan ludah, bagaimana
caranya kesana? Melewati hutan pohon sagu berlumpur yang kedalamannya mungkin
saja ada yang tak terjangkau dan menenggalamkan tubuh hingga kepala?
Aku teringat ketika melewati
sawah untuk menuju ketempat ini. Kami jalan berkelok-kelok, sedang abang
menerobos lumpur dan jalan lurus, berbalik kearahku dan dengan suara lantang
berkata “lebih cepat kan?” Aku hanya bisa mengangkat jempolku dengan kagum. Saat
itu aku mengingatnya dan dengan menggerakkan kembali kompasku menembak 115
derajat kedepan, tepatnya ke pohon sagu didepanku. Aku dengan berani seperti
cara abang menerobos lumpur, menerobos lumpur itu dan berjalan menuju pohon itu
melewati lumpur yang menenggelamkan kakiku hingga ke tengah betis.
Sampai kepohon, abang menyuruhku
terus menembak 115 derajat, dan aku pun melakukannya. Dari jam 5.30 sore tepat
saat kami memulai perjalanan ini tanggal 6 maret 2013, hingga saat ini
menunjukkan pukul 7 malam, hutan sudah sangat gelap, kak pinus yang bergerak
membuka jalan yang kutunjuk memotong batang pohon sagu yang mengahalangi
bergerak sebagai leader dan rotan yang bergerak sebagai sweaper di belakang
kami, berlima bergerak masuk kedalam hutan pohon sagu tak terjamah.
Lama-kelamaan kami tidak
memukan ujungnya, dan pohon sagu berikutnya yang ku tembak, kedalaman lumpurnya
tidak terjangkau, dengan tegas abang menyuruh kak pinus bergerak keluar lurus
untuk keluar dari hutan pohon sagu ini. Berjalan dalam kegelapan malam, di
tengah hutan lumpur yang menelan kaki hingga ke betis, dengan langkah cepat dan
gerakan kuat, kak pinus terus memotong dahan pohon yang menghalangi, berjalan
terus sambil mengikuti arahan dari abang. Kami berjalan hingga keluar dari
lumpur namun masih dalam kompleks hutan yang ternyata luas ini. Kami berjalan
keatas menanjak, sampai akhirnya terhalang oleh tebing yang tak mungkin
terjangkau untuk dieruskan dan berbalik turun mencari tempat datar untuk
beristirahat sebentar. Kamipun turun menuruni tanah licin dan basah, mengucap
salam bagi penghuni hutan ini. Didepan ada turunan yang terlihat sangat terjal
hingga memerlukan tali webing untuk menuruninya, abang mengikatnya ditempat yang
kuat dan turun perlahan, aku melihat dengan sedikit cahaya headlamp yang
bertuju pada bang anjas, abang bergumam “tidak sampai talinya” lalu, bruuuuuk...
Kak pinus berteriak “ada apa
bang?”, “ndak ji, bisa ji, sampai mi ditanah, turun semua satu-satu, cewek
duluan”. Aku menarik nafas lega, temanku mencoba turun, dengan gaya seorang climber, kami turun dengan webing itu kebawah. Saat aku mencoba
turun tapi tidak menemukan pijakan tepat, bang menegurku “turun saja jangan
takut, seorang navigator tidak boleh takut melangkahkan kakinya, karna kita buka
jalur”. Aku menghilangkan ketakutan bodohku dan menjatuhkan kakiku mengikuti
gravitasi. Kamipun berdiri menunggu yang lain turun, sementara bang pergi jauh
dan melarang kami menyenter kearahnya untuk memenuhi kebutuhan alamnya. Setelah
menunggu abang selesai dengan urusannya dengan alam, kami kembali berjalan
sesuai arahannya dan menemukan tempat yang baik untuk beristirahat ada air yang
bisa digunakan dan tempat untuk duduk berlima. Sambil beristirahat abang
mengajarkan saudaraku rotan sebagai seorang calon pemateri survival untuk
membuat air bersih. Kami para cewek membuat makanan. Kami pun mulai mencuci
beras dari air diatas daun yang dikelilingi batu ditengah air mengalir. Dengan
nasi, mi rebus dan ikan kecil tumis yang dibawa temanku kami makan dengan lahap
setelah melepas tenaga yang lumayan besar tadi untuk menembus hutan pohon sagu
ini.
Aku menjadi heran sendiri
dengan diriku yang sebenarnya penakut dan lemah. Selalu membutuhkan bantuan
orang lain untuk naik keatas. Sekarang membuka jalur baru yang belum pernah
dijamah orang sebagai seorang navrat. Aku teringat kata-kata bang saat kami
bersusah payah mencari titik back azimuth ditempat kami berdiri sebelum
memasuki hutan ini. “makanya saya heran, jarang ada cewek yang mau jadi navrat,
karena memang sulit. Hanya ada sedikit wanita navrat di Indonesia, salah
satunya memang kakak kalian kelinci. Tapi saya biarkan saja kalian tetap
memilihnya. Dan dilapangan kita baru akan buktikan kehebatan kalian.” Yah, aku
yang lemah dan penakut, mencoba menjadi seorang yang kuat dan pemberani.
Setelah beristirahat, kami pun
berjalan kembali untuk keluar dari hutan ini. Kami mengikuti aliran air tadi,
dan menemukan jalan yang seharusnya biasa dilewati oleh seorang manusia. Kami
terus berjalan, hingga menemukan langit yang tadinya tertutup pohon sagu
didepan sana. Untuk dapat kesana kami harus melawati pembatas dan lumpur yang
menenggelamkan kaki hingga paha.
Kami pun berhasil keluar, ke
persawahan kembali. Kami berjalan terus mengikuti pematang sawah yang belum di
gunakan, melewati jembatan bambu yang tidak terikat baik dan harus dilewati
satu-persatu orang. Terus masuk menaiki jalan menanjat yang sedikit terjal
hingga turun kebawah, keujung dan menemukan sawah kembali diluar hutan. Kami
kembali kepinggir hutan dan bang menyuruh membuat camp di tempat ini. Aku
melepas tas berat itu dan terduduk sebentar melepas lelah. Para lelakinya
mencoba membuat camp dari plesit sesuai petunjuk bang. Mengambil bambu sebagai
tiangnya, menggali lubang ditanah dan mencari kayu lain sebagai penahannya
untuk mempertegakkan tiang bambu. Dari ujung hingga ujung bambu itu di tegakkan
sebagai tiang, aku hanya bisa memperhatikan mereka. Dan kemudian mematok
sisi-sisi plesit dengan kayu-kayu kecil yang kuat kedalam tanah.
Kami para cewek mengatur tas
dan matras untuk beristirahat. Laki-lakinya mencoba membuat api dari kayu basah
setelah hujan gerimis tadi sore. Aku dan temanku juga mengumpulkan kayu untuk
dibakar, tapi yang aku temukan hanya bambu di kegelapan ini. Sementara kami
membuat dan mempersiapkan camp terlihat ada tiga senter yang bergerak kearah
kami. Kak pinus memberitahu bang, mungkin warga ada yang datang, bang menyuruh
membiarkannya dan menyapa mereka jika mereka menyapa kita lebih dahulu. Aku
mencoba melirik tiga cahaya yang diberi tahu itu, dan aku pun bergumam,
“mungkin hantu”. Temanku menyikutku dan dengan wajah cemberut menegurku. Aku
hanya tersenyum membiarkannya. Sosok yang disebut warga itu tak menyapa kami
hingga esok menyingsing.
Setelah selesai, dan apipun
jadi. Mataku terserang kantuk berat. Semua orang diluar tenda menghangatkan
diri di dekat api, aku didalam dan mendengarkan bang memberi tes untuk hapalan
dan pemahaman teori kami dengan kantuk yang setengah mati kutahan. Bang pun
mengatakan “nanti kita akan melihat bintang cirux untuk menentukan arah dimalam
hari”. Kantuk yang tak bisa kutahan lagi membuatku berucap, “bang aku istirahat
sebentar ya, sebelum melihat bintang” dan matakupun tertutup.
Saat mataku terbuka, cahaya mulai
masuk dari ujung kepalaku. Samping kiriku, bang tertidur pulas, begitu pula
temanku pandan disebelah kanan. Aku terduduk dan melihat keluar, kak pinus dan
rotan yang tidur dengan sleeping bag. Sesaat aku tertegun, karena tiba-tiba kak
pinus membuka ujung sleepng bagnya dan bersuara tidak jelas. Setelah diam lama
aku melihat ia sama sekali tidur dan tak terbangun. Aku keluar tenda dan
menyambut udara dingin pagi hari. Tapi semua orang masih tertidur dan azan
subuh setengah jam yang lalu baru bergumam, dingin membuat kulitku menyegat dan
tidur kemabali memanggilku. Aku terbangun kembali karena rasa kebelet yang
tidak bisaku tahan. Aku berwudu sedikit, membersihkan tanah di bajuku, dan
kemudian mengganti solatku. Aku ingin menunggu mereka bangun. Tapi ternyata
terasa lama sekali. Aku kembali ke tenda dan tidur.
Suara kak pinus membuat mataku
kembali terbangun. Aku melihat bang disampingku yang terlihat masih asik tidur,
kak pinus menyuruh kami masak, tapi semalam katanya kita akan makan dengan
bambu. Aku mengingat kembali bagaimana caranya memasak dengan bambu, “bambunya
dibakar ya?”, “hemm, dibakar, tapi nanti saja, sekarang masak saja dulu dengan
nesting” bang berbicara dengan mata tertutup membuatku keget sebentar. Kemudian
ia memablikkan tubuhnya dan tidak beranjak bangun.
Aku dan pandanpun mulai
memasak. Kami makan nasi, telur dadar dan mi, kak pinus membuat satu martabak
mi yang mengingatkanku pada kakak perempuanku yang juga suka membuatnya. Diatas
daun pisang, kami makan bersama. Setelah itu pelatihan dimulai lagi. Sementara
bang mengajar rotan untuk membuat bivak, juga sambil memberitahu kami untuk
melakukan section dan intersection. Aku melihat peta dari atas, dan mendapat
hukuman dari bang, “pernahkah saya memberi tahu untuk melihat peta dari atas?
Peta harus dilihat dalam posisi yang baik. Satu set! Sekarang!.” Aku menghela
nafas dan mengambil hukumanku. Mengutuk diri sendiri dalam hati yang masih
diselimuti rasa kantuk malas sehingga tidak berfikir jernih. Akupun
membangunkan diri ku sendiri, dan mulai serius. Temanku pandan datang dan
mencoba melakukannya pula, ia melakukannya dengan baik tidak seperti diriku
yang bodoh.
Karena semalam aku yang
menembak dan menentukan arah, saat sore menjelang malam nanti kami akan
dituntun oleh pandan. Ia pun dengan serius bertanya. Melihat tanda-tanda medan,
kami mencoba menentukan posisi kami dipeta. Sebelumnya aku dan pandan mencoba
bertanya pada warga di daerah mana kami sebenarnya. Kemudian kami mencari
posisi yang tepat untuk dapat menembak sudut tanda medan dan meletakkannya
dipeta dan mencari titik pasti kami dipeta. Temanku pandan mencobanya, namun
karena terhalang gunung kamipun berpindah kedepan yang dapat melihat tanda
medan dengan baik. Melihat cekungan hutan, sawah dan jalan, kami menembak sudutnya masing-masing dan
menggambarkannya dipeta. Menarik garis lurus dan melihat pertemuan yang terjadi
antara titik bidikan dari masing-masing sudut. Aku merasa rasa amarah bang
masih ada kepadaku. Aku benar-benar merasa bersalah dan hanya berdiam diri
memperhatikan bagaimana bang mengajari pandan. Setelah berhasil menentukan
titik dipeta, kemudian bang memperpendek jarak tujuan kami menjadi ke jembatan
yang masih di sekitar daerah bantimurung. Pandan menarik garis dan mencoba
menentukan sudut tembak. Kami menemukan sudut tembak di petanya sebesar 137
derajat.
Aku teringat kembali, saat pagi
menunggu semua orang bangun, aku melihat daerah kami berada dan tebing yang
tepat berada dihadapan kami. Mengingat orientasi peta dan penetuan didaerah
mana kami berada untuk sementara menurut bang malam sebelumnya, aku sangat
yakin, sasaran tembak kami bertumpu pada tebing itu. Tampaknya pandan
berpikiran sama denganku, iapun bertanya pada bang, “bang, kalo sasaran tembak
bertumpu pada tebing yang tidak bisa dilewati bagaimana?”. Bang pun
menjelaskannya,
“itu namanya halang rintang.
Jika kita menembak dan titik yang ditembak tertuju pada halangan yang tidak
bisa dilewati seperti tebing atau rawa, maka kita melakukan halang rintang.
Yakni bergerak 90 derajat ke kiri atau ke kanan sampai halang rintang itu
terlewati kemudian menembak sudut yang besarnya sudut merupakan penjumlahan
dari sudut asli dengan 90 derajat dengan menghitung langkah kaki kemudian
bergerak menuju posisi sudut tembak dan kembali bergerak 90 derajat berlawanan
dengan arah sebelumnhya yang kita ambil dengan langkah yang telah kita hitung,
dan menembak kembali dengan sudut awal”
Keningku berkerut mendengar
penjelasan yang panjang itu. Aku sama sekali tak mengerti. Dan bang, pun
memberi beberapa contoh untuk menjelaskannya yang pada akhirnya masih membuatku
semakin bingung namun tak berani bertanya. Pelajaran selesai dan kamipun di
minta mencari siput hitam untuk dimakan. Makanan seorang survival seperti yang
akan diajarkan oleh bang pada rotan.
Bertiga dengan kak pinus yang
menuntun kami mencari siput hitam itu disawah. Tapi sangat amat jarang sekali,
aku hanya berhasil menemukan 7 biji. Pandan menemukan sangat banyak namun
bercampur dengan siput kuning. Bang mengatakan bahwa, siput kuning harus terlebih
dahulu diambili isi perut dan kotorannya, baru bisa dimasak. Karena ada bagian
yang jika tidak diambil akan membuatmu pingsan selama beberapa jam. Saat
mencuci alat makan, aku bertanya pada pandan tentang halang rintang. Iapun
menjelaskannya dengan contoh pergerakan langsung yang mudah kupahami. Walau
hanya sebagiannya, setidaknya aku sudah sedikit mengerti.
Saat jam 5 sore tidak lama lagi
menjelang kami bersiap-siap berangkat. Aku berangkat dengan perasaan lega
mendengar bang, berkata “saya bakal marah ke seseorang karena saya masih
menyayangi mereka. Kalau saya sudah diami, itu baru kasian-kasian mu mi. Tidak
akan saya pedulikan”. Masing-masing dari kami bertiga mendapat hukuman 5 set
karena tidak membawa bendera MARABUNTA. Harus dibayar sebelum sampai di kota,
kalau tidak maka, kak domb akan menghukum kami lebih parah lagi.
Kamipun berjalan, tapi sebelum
perjalanan dimulai, tiba-tiba bang menyuruh kami bertukar cariel. Cariel
terberat yang dua kali lipat dari daypack yang kubawa yang dibawa oleh rotan,
disuruh bawa oleh pandan, aku membawa daypack pandan yang sedikit lebih berat
dari daypack-ku, dan daypack ku dibawa oleh rotan. Perjalanan kembali
dilanjutkan.
Setelah membidik, pandan
kemudian bergerak tepat kedepan tebing dan bergerak lurus 90 derajat kesamping.
Saat ingin menembak ia bertanya pada bang untuk penambahan sudutnya, dan bang
menyuruhnya menambah 90 derajat, tapi pandan berkata itu salah, karena kita
bergerak ke kiri, maka seharusnya ditambah 270 derajat. Tapi hasilnya melewati
360 derajat yakni 407 derajat. Dan bang pun menyuruh mengurangi 360 derajat.
Hasil sudutnya benar-benar aneh dan menunjukkan kemiringan kearah yang
berlawanan. Aku semakin bingung. Dan saat bang berkata kemana arahnya, kami
memutuskan arahnya ke posisi dimana bang berdiri sekarang. Kami diminta untuk
menghitung langkah. Dan kamipun menghitungnya. Langkahku mencapai angka 115,
pandan hanya 75 langkah, karena ia mengambila langkah yang lebar.
“yang membawa beban ringan yang
menghitung langkah. Lanjutkan hitungannya sampai kita keluar dari tebing ini.”
Akupun terus menghitung langkahku. Kami berjalan terus melewati sawah yang
belum di tanami. Lurus menuju hutan. Bang mencari jalan yang diceritakan
seorang warga yang sempat menjenguk kami di perkemahan. Ia menceirtakan tentang
jalan tembus menuju tempat rekreasi bantimurung. Kamipun terus masuk kedalam.
Melewai jalan berkelok yang terlihat masih dapat di lewati. Kemudian masuk
kedalam hutan dan mulai menanjak keatas. Rotan menandai jalan kami dengan
stringline berupa tali rapiah berwarna merah. Malam mulai menjemput , sedang
jalan mulai tampak menanjak, aku mengosongkan semua botol air dan hanya pandan
yang mengisi botol airnya yang kecil juga mulai kehausan akibat mengangkat tas
cariel yang berat itu. Jalan didepan tidak bisa katanya. Kita kembali turun dan
aku terpaksa menghitung mundur hitungankun dengan cara menguranginya.
Kami duduk diatas papan, sedang
bang mencari jalan menuju keatas. Wajah kak pinus mulai tampak tak yakin
dimataku. Kami mengikat baik-baik sepatu kami dan berjalan kedepan. Mengikuti
bang. Berjalan keatas, dan kami tidak menemukan jalan yang di beri tahu oleh
warga itu. Ditengah, saat malam mulai benar-benar menghantui, ditengah gunung
hutan yang tak terjamah, bang melanjutkan, “tidak perlu jalan warga, hantam
keatas dan buka jalan baru, dari pada turun kembali”.
Mengikuti arahan bang yang
memiliki pengalaman lubis alias luar biasa tentang gunung hutan yang merupakan
divisinya di mapala mataram. Kami berjalan keatas kebekas bebatuan yang dialiri
air. Licin berlumut. Senter headlamp bang padam, kami berhenti sejenak menaiki
kemiringan gunung hutan yang gila itu sembari menunggu bang menganti baterai
headlampnya, ia meminta pandan yang sudah terlihat pucat untuk mengganti
kembali tas carielnya. Kami melanjutkan perjalanan keatas. Melewati tanjakan
berlumut yang panjang itu hingga sampai ke daerah yang lumayan datar. Ada
banyak pohon bambu yang tumbuh. Dan ada sekitar dua jalur yang bisa di lewati.
Bang mengecek ke kanan dan rotan mengecek ke kiri, kami memutuskan memilih
kanan, dan berjalan beberapa langkah kedepan. Saat berjalan tiba-tiba bang
berteriak “anjing! Anjing!” dan lari terbirit kebelakang. Ia menarik sedikit
kausku kebelakang dan memegang kepalanya sendiri. Kak pinus datang “kenapa
bang?”, “ular sanca! suntili”, “ha? mana bang?” aku terkaget. “itu sana,
sebesar ini!” bang menunjukkan bambu yang sedari tadi kubawa, sebesar paha
orang dewasa. Aku tercekat tak percaya, menelan ludah dan menyenteri tempat
yang di tunjuki bang ada ular sanca alias ular sawah yang mampu menelan sapi
tersebut.
Rotan mengiyakannya dan
menunjukkannya pada kami. Semua senter mencari-cari sosok ular besar yang hampir
di injak oleh bang anjas. Aku pun melihat sebuah benda panjang besar bergerak
berbintik cantik warna hijau di malam hari menghilang dibalik kegelapan
disampingnya yang tak terjangkau oleh senter akibat terhalang sesuatu. Mataku
terpukau seketika. Ludahku tertelan begitu lambat. Semua hening, kecuali kak
pinus yang mencari-cari sedari tadi namun tak jua melihat pemandangan yang
menengangkan itu. Semakin menegangkan ketika bang berkata, “kemungkinan ular
itu sedang lapar.” Aku hanya berharap ia belum berdoa sebelum makan.
Kami kembali ketempat semula
mengikuti stringline dan mengambil lajur kiri yang ditunjukkan rotan. Bang
tampak diam masih tegang, jika ia benar-benar menginjak ular itu, maka semua
berakhir. Termasuk kami semua. Dan petualangan ini hanya akan menjadi berita
menapjupkan bagi sebagian orang, mengerikan bagi sebagian orang lainnya,
menyedihkan bagi beberapa orang, dan menyayangkan bagi sebagian kecil lainnya.
Beruntung hal itu tidak terjadi. Karena tulisan ini membuktikannya.
Kami terdiam bersama kebisuan
bang. Kak pinus berinisiatif melihat jalan kiri, apakah bisa dilewati atau
mentok tebing kembali. Dengan jujur kak pinus berkata, “agak takut ka’
sebenarnya bang, ular”. Namun ia masih terus berjalan melihat apakah jalan itu
bisa dilewati atau tidak. Hitungan ku berakhir disitu tepat berjumlah 3889
langkah. Kak pinus tiba-tiba berkata “mentok bang”. Dan kami pun duduk
sebentar. Pandan terlihat sangat lesu seperti kurang makanan. Bang mengingat
roti yang kita miliki dan kita pun memakannya bersama madu dan susu. Juga
sebotol air yang tidak cukup seperempatnya. Selesai makan aku sadar tanganku
yang sangat kotor, tapi semua terlambat karena roti yang kusuap itu telah masuk
melewati kerongkonganku. Aku tidak jadi menjilati susu yang tumpah di tanganku.
Bang menatap kami semua. “jadi
masih mau lanjut? Seandainya ada air, kita kemah disini, tapi air sudah tidak
ada.” Aku spontan menjawab “lanjut bang”. Bang kemudian melanjutkan “yah,kita
kebawah dulu lalu mengambil jalan lain”. Aku merasa sedikit kecewa, jika harus
kembali kebawah lagi. Beberapa saat yang lalu kami mendengar suara salawat
mesjid dari atas sini, yang artinya puncak sudah dekat. Tapi karena mentok,
setelah mendapatkan baterai yang hilang jatuh selama beberapa menit ditempat
ini untuk mengganti baterai headlampku, kami kembali berjalan turun ke bawah.
Dengan langkah pelan terseok beberapa kali, kami menuruni gunung hutan yang tak
pernah tersentuh ini, melewati jalan sawah yang belum dipakai itu, dan masuk
menuju hutan awal. Sambil jalan, kami tidak menemukan jalan masuk menuju tempat
itu kecuali melewati rawa berlumpur yang cukup dalam jika diinjak. Tidak ada
jalan lain , setelah bang melewatinya, kami semua berjalan melewatinya dua
perdua. Kak pinus membantu pandan, rotan membantuku. Berkali-kali sepatuku
terjebak sangat dalam hingga ke pangkal paha. Sangat sulit berjalan
melewatinya. Rotan memberi tahuku cara jalan yang baik jika tidak ingin sulit
melewatinya, aku bersorak dalam hati, “oh iya”, aku baru ingat, semakin luas
suatu permukaan semakin kecil tekanan yang diberikan, dengan berjalan menggunakan
betis dibantu otot paha aku berjalan,dan akupun berhasil melewati rawa
berlumpur itu berkat bantuan rotan.
Kami berjalan memasuki hutan
dan jembatan bambu yang hampir rusak itu, lalu berkemah ditempat lapang. Sambil
menyiapkan tenda, aku dan pandan mengambil air dan mengisi semua botol. Sementara
kak pinus dan rotan menyiapkan tenda, bang mengajarkan kami tentang bintang,
menyuruh kami mencari bintang cirux yang berbentuk layang-layang yang membedakannya
dengan yanglain adalah satu titik bintang redup yang berada disebelah kanannya.
Ekornya menandakan arah selatan bumi. Tiba-tiba rotan nyeletuk, “seperti
pacaran ki bertiga di situ bang, eh, bikin iri saja”, dan kami pun tertawa
mengiyakan.
Saatnya pelatihan rotan, kami
akan makan nasi yang dimasak menggunakan bambu. Ia membuat api dan mencari kayu
berbentuk huruf Y. Untuk mengisi kekosongan perut sementara, kami makan dua
bungkus indomi. Bang merebus siput hitam. Dan kemudian menggoreng siput yang
telah dipotong yang tidak diambil untuk makan besar selanjutnya. Setelah
nasibambu masak, ternyata tidak terlalu banyak, isinyalunak dan enak, tapi
luarnya yang terbakar sangat keras. Saat memakannya dengan siput goreng, terasa
amat sangat nikmat. Aku sangat lapar.
Pagi pun menjelang. Aku bangun
lebih dahulu lagi karena tidur lebih awal. Disamping kananku ada rotan dikiriku
ada pandan lalu kak pinus. Bang tidur di belakang. Aku keluar mencari tempat
untuk mengeluarkan hajat. Dan membersihkan kotoran yang bisa di hilangkan
dibadanku lalu menjamak solatku. Saat selesai aku berbalik ketenda dan melihat
punggung kak pinus yang duduk menghadap tenda. Aku kembali ke aliran sungai
yang mengalir kecil. Memasukkan kaki ku kedalam dan mencucinya, lalu
mengeringkannya sambil melihat tebing dan gunung hutan yang mengelilingi kami.
Sungguh indah bumi yang diciptakanNya ini.
Kak pinus memanggil ku, aku
bertemu kembali dengan nenek yang merupakan warga desa itu, ternyata ia telah
melarang kami untuk naik karena disana ada ular. Dan ia datang kemari untuk
mengecek kami, kalau tidak ada kami dia tidak berani untuk masuk kemari. Dan ia
pun pergi berlalu mencari siput hitam untuk dimakan. Saat santai menikmati
udara pagi yang mulai hangat, kak pinus datang dibelakangku. Kami ternyata
memiliki harapan yang sama untuk dapat kembali ke gunung itu dan mencari
puncaknya. Hanya saja ia tetap ingin melakukannya dimalam hari. Sebenarnya aku
juga senang menyurusinya dimalam hari, karena disiang hari laba-laba yang
hitam, besar dan tebal itu bertebaran dimana-mana, aku akan sangat ketakutan.
Nenek itu pulang dan mendapat
banyak siput hitam. Ia bercerita tentang panennya yang gagal. Lalu menceritakan
tentang kebun lombok didekat kami yang katanya kalau hari minggu tidak dijaga
karena ia pergi menjenguk ibunya karena tidak sekolah. Aku sebenarnya tidak
ingin, karena tetap saja itu artinya mencuri, tapi sang nenek dengan antusiasnya
memberikan kami lombok yang berasal dari kebun orang itu dengan beberapa jeruk
nipis. Kamipun kembali keperkemahan. Orang-orang mulai bangun. Bang anjas
mempersiapkan masakan andalanya, nasi goreng kornet telur yang nikmat. Kami
makan dengan lahap dengan tambahan lombok segar yang baru saja dipetik dari
pohonnya dan jeruk nipis yang segar. Sayangnya pandan tak bisa makan, karena
terlalu pedas untuknya. Iapun terpaksa memasak mi sendiri.
Kami bersiap-siap pulang. Aku
teringat saat malam tadi ketika kami melakukan briefing. Bang memanggil kami
berdua dan dengan suara pelan penuh perhatian menanyai kami. “sekarang coba
ceritakan hal-hal yang tidak kalian mengerti.” Pandan mulai menceritakan
masalahnya, dan aku dengan perhitungan back azimut yang tidak ketemu dan halang
rintang yang masih sangat tidak kumengerti. Bang pun menjelaskannya dengan
runtut.
“ok mulai dari packingan. Saya
sudah bilang toh, barang yang kamu bawa dari kota, tidak boleh dipakingkan
orang lain. Masalahnya bagaimana kalo orang yang mempakingkan kamu itu tidak
ada. Siapa yang kamu harapkan membawa barang pakinganmu? Pandan, madu, roti,
beras, siapa yang bawa? Pinus to?”
“iiih, saya ndak tahu bang,
perasaan saya sudah taruh ditasku”
“hemm, tapi tetap, pinus yang
bawa. Terus, pandan waktu penentuan halang rintang, saya sudah teriak sudutnya
ditambah 90 derajat, kamu bilang saya salah, jadi kamu tambah 270. Itu sisi
kanan dan kiri, timur dan barat, sesuai arah, timur 90 derajat, kiri atau barat
berarti 270 derajat, tapi itu sama sekali tidak ada hubungan nya dengan
perhitungan halang rintang. Itu hanya pengecoh yang coba saya berikan. Tetapi
kalian tertipu dan memasukkannya dalam perhitungan.”
Aku hanya menepuk jidatku
mendengar penjelasan itu. Betapa bodohnya aku yang tidak bisa berfikir dengan
jernih saat materi itu diberikan. Dan bang pun meluruskan segala pengetahuan
kami yang bengkok.
Sawah terbentang luas
dihadapanku, menuju depan aku ingin segera memakai rokku. Banyak aturan yang
telah kulanggar tapi telah kubuat batasan terhadapnya dengan kata ‘keadaan
kritis’. Beberapa pengecualian yang aku tanamkan dari islam untuk dapat
memenuhi keinginanku untuk dapat melihat secara nyata alam ciptaanNya ini.
Sayangnya aku tak pandai mengendalikan situasiku sendiri. Aku tidak tahu meski
berkata apa, pandan telah berkata “wajibkah pakai rok?”, aku tidak menjawabnya,
hanya saja aku sedang tidak ingin bertengkar den berdebat. Akhirnya aku mencari
alasan lain yang biasanya lebih masuk akal dari ini untuk orang-orang dizaman
seperti ini, “kotor celanaku, jadi tutupi pakai rok”. Tapi aku salah, adalah
kebanggaan seorang pendaki gunung yang membawa tas cariel yang besar dan
pakaian kotor berlumpur akibat telah mengalahkan satu gunung hutan. Akhrinya
aku disuruh memangkul cariel sampai depan kantor polisi tempat kami akan
dijemput.
Lama menunggu, hujan deras
datang menjemput bergilir-giliran. Aku ingat perkataan bang semalam, “jika
malam cerah ada kilat, tandanya besok akan hujan”. Dan tepat tadi malam aku
melihat kilat terus-menerus bermunculan dan hujan deraspun datang dihari ini.
Kami menunggu 5 motor datang menjemput dari jam 3 sore hingga setengah enam
menjelang magrib. Dengan naik motor berboncengan kami menuju rumah pandan,
singgah bertamu disambut hangat dengan jamuan makan bakso yang nikmat. Semua
pria membuka bajunya karena kebasahan. Mereka berfoto sama. Sangat lucu. Kami
bercerita pengalaman kami, disana. Tentang ular besar, dan banyak lainnya. Aku
ketahuan mengorok ketika tidur dan sering bernyanyi sendiri dengan suara yang
tidak jelas terdengar. Rotan memberi tahu sesuatu yang kumaksudkan untuk
dirahasiakan. Aku hanya bisa tertawa bersama. Malam itu semua rasa lelah,
hilang bersama tawa dan kebersamaan yang dibangun oleh cerita tentang
pengalaman kami semuanya. Manusia bisa hidup dengan bahagia ketika ia bersama
dengan manusia lainnya, seperti alam yang bisa tetap indah ditempatnya ketika
manusia mau menjaganya bersama sepenuh hati.
09.46 PM
27 Jumadil
awal
1434 Hijriah
Lumut_MARABUNTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar